5++ Pertanyaan Jawaban Hukum Agraria

Ujian Akhir Semester Tahun Ajaran 2022/2023 Fakultas Hukum

1. Rumah susun dapat dibangun di atas tanah Hak Guna Bangunan di atas tanah negara atau di atas Hak Pengelolaan. Dilihat dari sisi kepentingan pembeli (pemilik), mana yang akan lebih disukai diantara kedua HGB tersebut. Jelaskan! 

Jawaban 

Dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, pengembang dapat membangun rumah susun di atas tanah Hak Pengelolaan (“HPL”). HPL adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya dilimpahkan kepada pemegangnya. Di atas tanah dengan HPL dapat diberikan atau dibebankan dengan hak-hak atas tanah, yaitu Hak Guna Bangunan (“HGB”) dan Hak Pakai (“HP”). Developer memiliki kewajiban untuk menyelesaikan status HGB atau HP di atas tanah HPL tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebelum menjual properti yang bersangkutan. Maka dari itu, Developer tentunya harus mengetahui tata cara pemberian serta pengaturan lain terkait dengan HGB dan HP di atas tanah HPL, dimana pengaturannya diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 (“PP 40/1996”) dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag 9/1999”). Berdasarkan hal tersebut, di sini akan dibahas secara umum mengenai HGB di atas tanah HPL. Jika merujuk kepada Merujuk pada Pasal 19 PP 40/1996, yang berhak menjadi pemegang HGB adalah 

(i) Warga Negara Indonesia; dan 

(ii) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 

HGB di atas tanah HPL diberikan melalui keputusan pemberian hak oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan (“Menteri”) atau pejabat yang ditunjuk, berdasarkan usul pemegang HPL. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Permenag 9/1999, diatur bahwa permohonan hak atas tanah di atas tanah HPL, dalam hal ini adalah HGB di atas tanah HPL,

pemohon HGB terlebih dahulu memperoleh penunjukkan berupa perjanjian penggunaan tanah dari pemegang HPL. 

Jika melihat dari kepemilikan dari rumah susun dapat dibangun di atas tanah Hak Guna Bangunan di atas tanah negara atau di atas Hak Pengelolaan. Lebih menguntungkan orang yang memiliki tanah diatas tanah negara jika memiliki Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atas tanah Hak Pengelolaan tidak dapat dimiliki selama-lamanya. Hal ini dikarenakan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tidak mengatur mengenai jangka waktu penggunaan hak. Eksistensi atau keberadaan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun bergantung pada hak atas tanah yang melekat. Tanah Hak Pengelolaan hanya dapat dibangun rumah susun apabila tanah tersebut dilekati dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, akan tetapi kelemahan dari HGB dan HP adalah bahwa kedua hak tersebut memiliki jangka waktu yang apabila tidak diperpanjang atau diperbaruhi menyebabkan status haknya kembali kepada pemilik awal yaitu pemegang Hak Pengelolaan. Apabila hak atas tanah tersebut kembali kepada pemegang Hak Pengelolaan, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun hapus demi hukum, sebagaimana Undang-undang Rumah Susun bahwa tidak ada rumah susun yang dapat berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan. Pemilik satuan rumah susun dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah yang berstatus Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan dengan terlebih dahulu memperoleh ijin dari pemegang Hak Pengelolaan. Guna memperlancar proses perpanjangan, maka dibentuklah perhimpunan penghuni dan pemilik sarusun yang pembentukannya harus terlebih dahulu mendapatkan kuasa dari seluruh pemilik sarusun. 

2. Bukti kepemilikan satuan rumah susun dapat berupa Sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun dan Sertipikat Kepemilikan Bangunan Gedung. Mengapa bisa terjadi ada dua jenis bukti kepemilikan tersebut? Jelaskan ! 

Mengingat berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, terdapat dua bukti kepemilikan atas satuan rumah susun (sarusun). Yaitu Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) dan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun). Tentu kedua sertifikat tersebut tidak sama. Mulai dari peruntukan hingga jangka waktu berlakunya. Merujuk UU Rumah Susun, pada Pasal 1 tertulis bahwa SHM Sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah Hak Milik, Hak

Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai di atas tanah negara, serta HGB atau Hak Pakai di atas tanah Hak Pengelolaan. Sementara itu, SKBG Sarusun ialah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah Barang Milik Negara (BMN)/Barang Milik Daerah (BMD) atau tanah wakaf dengan cara sewa. Berdasarkan definisi di atas, perbedaan SHM Sarusun dengan SKBG Sarusun ialah status hak atas tanah yang menjadi tempat berdirinya bangunan. Di sisi lain, SHM Sarusun diperuntukkan bagi pembeli rusun secara luas. Mulai dari masyarakat kelas menengah hingga atas. Sebaliknya, SKBG Sarusun lebih diperuntukkan mewadahi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). 

Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHM Sarusun) adalah tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 47 ayat (1) UU Rumah Susun. Dengan demikian SHM Sarusun diterbitkan sebagai tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah: 

1. Hak milik 

2. Hak guna bangunan di atas tanah negara 

3. Hak pakai di atas tanah negara 

4. Hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan 

5. Hak pakai di atas tanah hak pengelolaan 

Pasal 47 ayat (2) UU Rumah Susun menentukan bahwa SHM Sarusun diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Ini berarti penerbitan SHM Sarusun harus memperhatikan siapa yang akan memiliki satuan rumah susun dan apa jenis hak atas tanah tempat rumah susun didirikan. Misalnya hanya warga negara Indonesia dan badan hukum tertentu yang dapat mempunyai tanah hak milik. Maka hanya warga negara Indonesia dan badan hukum tertentu yang dapat memiliki satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah hak milik. Ketentuan ini menutup peluang bagi badan hukum dan warga negara asing untuk memiliki satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah hak milik.

Menurut Pasal 47 ayat (3) UU Rumah Susun, SHM Sarusun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas: 

1. Salinan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 

2. Gambar denah lantai pada tingkat rumah susun bersangkutan yang menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki 

3. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama bagi yang bersangkutan 

SHM Sarusun diterbitkan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota dan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. 

Pengertian SKBG Sarusun menurut Pasal 1 angka 12 UU Rumah Susun adalah tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa. SKBG Sarusun menurut Pasal 48 ayat (2) UU Rumah Susun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas: 

1. Salinan buku bangunan gedung 

2. Salinan surat perjanjian sewa atas tanah 

3. Gambar denah lantai pada tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki 

4. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda bersama yang bersangkutan 

SKBG Sarusun diterbitkan oleh instansi teknis kabupaten/kota yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang bangunan gedung. SKBG Sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia dan didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Mengapa dapat berbeda dapat dilihat dari syarat-syarat diterbitkanya sarusun disini serta jika dilihat dari Pasal 47 ayat (2) UU Rumah Susun menentukan bahwa SHM Sarusun diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Ini berarti penerbitan SHM Sarusun harus memperhatikan siapa yang akan memiliki satuan rumah susun dan apa jenis hak atas tanah tempat rumah susun didirikan sedangkanpada SKGB sarusun dalam Pasal 1 angka 12 UU Rumah Susun adalah tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa. SKBG Sarusun menurut Pasal 48 ayat (2) UU Rumah Susun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas Salinan buku bangunan gedung, Salinan surat perjanjian sewa atas tanah, Gambar denah lantai pada tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki, Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda bersama yang bersangkutan.

3. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki satuan rumah susun. Satuan rumah susun yang bagaimanakah yang dapat dimiliki oleh orang asing tersebut! Apakah satuan rumah susun tersebut dapat dijual kepada orang asing yang berkedudukan di luar negeri? Jelaskan! 

Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada orang asing yang memiliki izin sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Kepemilikan satuan rumah susun oleh WNA juga hanya dapat diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya. Selain itu, dalam kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian, WNA juga wajib memiliki dokumen keimigrasian yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta Pasal 69 Ayat (2) PP 18/2021 menyatakan Orang Asing yang mempunyai HMSRS dapat diwariskan kepada ahli waris. Ahli waris yang dimaksud adalah WNI/ Orang Asing yang memiliki dokumen keimigrasian. Dokumen keimigrasian adalah visa, paspor, atau izin tinggal yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Didapati kembali dalam pasal tersebut kemungkinan akan perluasan makna, yang akan menguntungkan orang asing terhadap kepemilikan hak atas tanah di Indonesia. Bagaimana kemudian dapat dilihat masih sulitnya WNI mendapatkan hak atas tanah karena masih banyak membutuhkan dana dalam

membeli hak atas tanah, di samping diberikannya HMSRS terhadap Orang Asing yang belum jelas pengaturannya. 

WNA yang berkunjung dan ingin menetap di Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu orang asing yang tinggal dalam waktu tertentu dan orang asing yang ingin menetap di Indonesia.[5] Secara hukum, status kepemilikan tanah dan bangunan yang dapat diperoleh oleh WNA atau badan hukum asing di Indonesia hanya sebatas hak pakai atas tanah dengan jangka waktu tertentu, hak sewa untuk bangunan, hak milik atas satuan rumah susun (selanjutnya disebut sarusun) dan rumah tempat tinggal atau hunian.[6] Oleh karena itu, selain hak-hak tersebut, hak atas tanah yang diperoleh oleh WNI harus dilepas apabila ia memutuskan untuk menjadi WNA[7], hal tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA yang menyebutkan bahwa: 

“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.” 

Berdasarkan ketentuan di atas, WNA tidak diperbolehkan menguasai tanah dengan hak milik, di mana apabila WNA mendapat hak milik maka tanah tersebut dikuasai oleh negara, hal tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa: 

“Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap

berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.” 

Hal ini sebagai upaya untuk mengurangi adanya kepemilikan atas tanah oleh WNA yang ingin bertempat tinggal atau membuka usaha di Indonesia, yaitu dengan menjaga agar tanah hak milik WNI tidak menjadi tanah milik WNA. Selain itu, kepemilikan atas hak milik juga membantu WNI agar dapat memanfaatkan tanah hak miliknya untuk menunjang kehidupannya 

Dengan diberikannya Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) kepada Orang Asing, dapat mengurangi kesejahteraan rakyat dalam mendapatkan tempat tinggal. Pemberian peningkatan hak atas tanah juga dapat berakibat bertentangannya aturan hukum mengenai pertanahan yang ada di Indonesia hingga kehilangan kepastian hukum. Perlunya perbaikan pengaturan ataupun perubahan terhadap UU CipKer terkhusus pemberian HMSRS perlu ditinjau kembali untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Peralihan Hak atas Tanah dan penjaminan khususnya HMSRS yang diberikan untuk dan antar Orang Asing dapat membawa ketidakpastian hukum, terlebih tidak diaturnya aturan mengenai jelasnya peralihan dan penjaminan yang dapat dilakukan. Perlunya Perbaikan aturan khususnya dalam pemberian HMSRS atas peralihan dan penjaminan agar tidak menimbulkan bertabraknya aturan maupun kekosongan yang dapat dimanfaatkan oleh Orang Asing. 

4. Ada 3 unsur penting dalam hunian rumah susun atau apartemen yang dihuni dengan sistem kepemilikan, yaitu Developer, PPPSRS, dan Pengelola. Jelaskan secara singkat peran dan tanggung jawab ketiga unsur tersebut. 

A. DEVELOPER 

Pertama, pentingnya perlindungan hukum terhadap pemilik atas pengelolaan IPL apartemen oleh developer yang melewati batas masa transisi. Jika ditinjau dari UU 20/2011 dan PP 13/2021, developer belum menunaikan kewajibannya selama masa transisi, dan pemilik dapat meminta pertanggungjawaban secara profesional dari developer.

Kedua, perlu diketahui apa penyebab developer belum memberikan AJB? Kemudian apakah pihak developer telah mengurus dokumen pertelaan, melakukan akta pemisahan, dan perolehan sertifikat laik fungsi? Sebab, hal-hal tersebut juga wajib disiapkan oleh developer dalam masa transisi sebagaimana dijelaskan di atas. 

Adapun jika developer menolak untuk bertanggung jawab, tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh pemilik atas tagihan IPL apartemen yang melewati batas masa transisi termasuk apabila developer yang mengelola apartemen memutuskan aliran listrik dan air ke unit apartemen, dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UU Perlindungan Konsumen. 

Pasal 45 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menyebutkan: 

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumendan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 

Artinya, dapat dilakukan secara litigasi dan non-litigasi. Cara litigasi yaitu melakukan penuntutan gugatan melalui peradilan umum, sedangkan non-litigasi yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 

B. PPPSRS 

Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun yang selanjutnya disingkat PPPSRS adalah badan hukum yang beranggotakan para pemilik atau penghuni. Pengurus PPPSRS bertugas mengurus kepentingan para Pemilik dan Penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama, dan penghunian 

C. Pengelola

Dalam RSH rumah susun, pengelola disini diartikan orang atau kelompok yang bertugas mengawasi operasional sehari-hari. Mereka bertanggung jawab mengumpulkan iuran bulanan dari penghuni, mengawasi keamanan, melakukan perawatan rutin, menanggapi keluhan dari penyewa, dan menawarkan layanan yang diperlukan untuk kenyamanan penghuni. 

5. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun mengatur bahwa pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS. Mengapa demikian? Hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan PPPSRS belum terbentuk? 

Dalam permasalahan ini Pengembang diwajibkan untuk membantu dan melakukan pembentukan Perhimpunan Penghuni dan Pemilik Satuan Rumah Susun (PPPSRS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. PPPSRS adalah sekelompok pemilik dan penghuni rusun yang berkumpul untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dan memelihara fasilitas umum. Developer memfasilitasi pembentukan PPPSRS.

Deloper bertugas untuk memfasilitasi pembentukan P3SRS, memasilitasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 Ayat (2) merupakan sarana untuk memberikan segala kebutuhan pembentukan PPPSRS paling sedikit berupa: a. penyediaan ruang rapat dan kelengkapannya, paling kurang meliputi meja, kursi, papan tulis/alat tulis, pengeras suara, dan penggunaan papan/media informasi kepada warga Pemilik dan/atau Penghuni; b. pemberian data kepemilikan dan/atau penghunian serta letak Sarusun berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh Pelaku Pembangunan; c. dukungan administrasi serta penyediaan konsumsi. 

Berdasarkan pokok permasalahan dapat ditarik kesimpulan permasalahan yang berkaitan dengan pembentukan PPPSRS pada disebabkan karena beberapa hal yaitu para pemilik sarusun belum mempunyai tanda bukti kepemilikan berupa SHMSRS yang seharusnya merupakan kewajiban developer untuk segera megurus tanda bukti kepemilikan tersebut segera setelah dilakukan pelunasan oleh penghuni.

Karena hal tersebut maka para penghuni tidak dapat membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni secara sah karena seusai dengan Pasal 74 Ayat (1) UU Rusun bahwa Perhimpunan haruslah dibentuk oleh Pemilik. Penerapan fungsi PPPSRS pada Rumah Susun/Apartemen terutama dalam hal pengelolaan juga belum dapat berjalan dengan baik apabila pembentukan Perhimpunaannya belum sah.

Dengan tidak sahnya pembentukan PPPSRS maka kegiatan pengelolaan dalam penghunian menjadi terhambat karena pengelolaan masih belum dapat sepenuhnya dilakukan oleh PPPSRS. Konflik kepentingan : Terkadang, penyewa atau pemilik properti memiliki prioritas yang berbeda dalam mengelola rumah susun. Perpecahan atau kesulitan mencapai kesepakatan untuk membentuk PPPSRS ini dapat terjadi akibat perbedaan pendapat tersebut.

Comments

Leave a Reply