Makalah: Tinjauan Viktimologi Korban Praktik Pungutan Liar  Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Di Kelurahan  Sendangguwo

MAKALAH KRIMINOLOGI & VIKTIMOLOGI: TINJAUAN VIKTIMOLOGI KORBAN PRAKTIK PUNGUTAN LIAR  PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP (PTSL) DI KELURAHAN  SENDANGGUWO (Studi Observasi di Kelurahan Sendangguwo)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kriminologi & Victimologi Dosen Pengampu: Dr. Indah Sri Utari S.H., M.Hum 

Disusun Oleh Kelompok 2:  

Delfira Rahma Tiasningrum 8111421054 

Silviana Tan 8111421056 

Muhammad Rayhan Sahizidan 8111421058 

Teguh Ramadhan Putra Pratama 8111421060 

Meiza Qori Neila 8111421068 

Risqi Dewi Utami 8111421070 

Fatimatu Zahra 8111421072 

Surya Adhi 8111421079 

Naufal Gunawan 8111421082 

Raditya Anggraeni 8111421084 

Fiska Rinita 8111421097 

PENDAHULUAN  

Kelurahan Sendangguwo terletak di Kecamatan Tembalang dengan total penduduk  sekitar 18.897 orang. Mayoritas mata pencaharian penduduk Kel. Sendangguwo adalah  karyawan perusahaan swasta. Disamping jenis mata pencaharian yang lain seperti buruh  migran, pengrajin industri rumah tangga, pedagang keliling dan lain-lain. Sedangkan batas 

batas dari Kel. Sendangguwo sendiri yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Gemah  Kecamatan Pedurungan. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tandang Kecamatan  Tembalang. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Kedungmundu Kecamatan  Tembalang dan Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Lamper Tengah Kecamatan  Semarang Selatan. Masyarakat kelurahan Sendangguwo mengalami perbuatan melawan  hukum pungutan liar (pungli) dalam PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap). Program  PTSL yang seharusnya membantu rakyat untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang  dimilikinya justru menjadi beban. Pungli ini tidak hanya terjadi di Kel. Sendangguwo saja  tetapi di beberapa kelurahan lainnya juga seperti Tandang dan Jomblang. 

Berdasarkan Hasil wawancara kami dengan Pak Harno, besaran pungutan yang dialami  oleh warga Sendangguwo sebesar Rp Rp.1.250.000. untuk 1 sertifikat tanah, dengan alasan  pungutan ini merupakan biaya untuk membuat sertifikat tanah hingga selesai. Selain biaya  pengurusan sertifikat, warga juga dimintai biaya untuk pengukuran tanah, biaya ini berbentuk  uang makan/uang rokok bagi panitia. Jika kita melihat dari kenyataannya, sudah dapat  dipastikan bahwa hal ini merupakan bentuk dari pungutan liar atas penyalahgunaan wewenang  pihak penguasa.  

PEMBAHASAN  

1. Pungutan Liar sebagai Bentuk dari Penyalahgunaan Wewenang  Telah kita ketahui bahwa pemerintah atau badan pemerintahan memiliki  wewenang untuk menjalankan kebijakan sebuah negara. Sebuah kebijakan atau  kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah sudah seharusnya berjalan sesuai dengan  aturan atau undang-undang yang berlaku di negara itu. Kita hidup di Negara Kesatuan  Republik Indonesia, sudah sepantasnya para aparatur negara atau lembaga  pemerintahan melaksanakan kewenangannya sesuai undang-undang yang berlaku di  Indonesia. Namun pada kenyataannya banyak lembaga pemerintahan yang  menyalahgunakan wewenangnya. Penyalahgunaan wewenang sendiri merupakan  penggunaan wewenang oleh lembaga pemerintahan yang dilakukan dengan melampaui  batas wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang  dengan melampaui batas yang sudah di atur di dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Banyak sekali  penyalahgunaan wewenang yang terjadi di Indonesia, seperti contohnya pungutan liar.  Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pungli telah menjadi masalah yang  meluas di Indonesia dan seringkali menjadi hambatan dalam pembangunan dan  pelayanan publik. Pungli sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan penarikan biaya yang  seharusnya tidak dikenakan dan biasanya dilakukan oleh aparatur negara atau  pemerintahan yang dimana itu termasuk dalam KKN. Masalah pungli ini berakar pada  sistem birokrasi yang rumit dan korupsi yang merajalela di Indonesia. Kelemahan 

dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum, serta rendahnya kesadaran  masyarakat untuk melaporkan praktik tersebut juga memperburuk masalah pungli di  Indonesia. Pungli terjadi di berbagai sektor, termasuk pada program pendaftaran tanah,  perizinan, dan pelayanan publik lainnya.  

Contoh konkrit dapat ditemui dalam kasus pungli PTSL yang terjadi di  Kelurahan Sendangguwo. PTSL merupakan program sertifikasi tanah gratis dari  pemerintah, hal ini dikarenakan masih banyaknya tanah yang belum bersertifikat.  Selain itu, lambatnya proses pembuatan sertifikat tanah selama ini menjadi perhatian  pemerintah, sehingga melalui kementerian ATR/BPN diluncurkannya Program  Prioritas Nasional yang berupa percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap  tersebut. Dalam pelaksanaan program PTSL dilakukan oleh petugas BPN di wilayah  desa atau kelurahan dan dipungut biaya sebesar Rp. 150.000. 

Namun pada realitanya yang terjadi di Desa Sendangguwo tidak sesuai  prosedur. Melainkan warga yang mengikuti program PTSL ini dipungut biaya yang  melebihi prosedur. Warga yang dikenai biaya lebih dari seharusnya merupakan korban  dari pungutan liar.  

2. Pungutan Liar dari Sudut Pandang Korban dalam Victimology Viktimologi sebagai ilmu yang mempelajari mengenai korban dan akibat-akibat  penimbulan korban yang merupakan salah satu masalah manusia sebagai suatu  kenyataan sosial. Seperti yang kita ketahui, bahwa viktimologi tidak hanya mengkaji  mengenai korban kejahatan saja, tetapi viktimologi juga meliputi korban kecelakaan.  Dalam hal ini, viktimologi mempunyai tujuan yang memberikan penjelasan mengenai  peran yang sesungguhnya para korban dan hubungan mereka dengan para korban serta  dalam hal ini juga memberikan mereka keyakinan dan kesadaran bahwa setiap orang  memiliki hak untuk mengetahui bahaya yang dihadapi dan berkaitan dengan  lingkungannya, pekerjaannya, maupun profesinya. Sebagaimana yang kita ketahui  bahwa viktimologi terdapat dalam konsep keilmuan (victimological) dalam hal ini akan  membahas mengenai korban kesewenang-wenangan penguasa atau korban atas  pelanggaran hak asasi manusia (victim of illegal abuses of public power). Pungutan liar termasuk dalam tindakan korupsi dan merupakan kejahatan luar  biasa (extra ordinary crime) yang harus diberantas. Hal ini sering terjadi pada bidang  pemerintahan dan pelayanan publik. Dimana yang menjadi pemeran di dalamnya yakni  aparatur sipil negara atau ASN, pegawai pemerintahan, dan rakyat. Berdasarkan  observasi yang telah dilakukan di RT 10 dan 11 Kelurahan Sendangguwo, Kecamatan  Tembalang, Kota Semarang, terdapat sedikitnya 10 korban pungutan liar yang berakar  dari penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh petugas PTSL yang terjun  langsung ke masyarakat. Informasi faktual yang didapatkan dari ketua RT 10, Bapak  Jumadi, bahwa perangkat desa telah melakukan tugasnya sebagaimana mestinya  sebagai perpanjangan tangan dari BPN. Narasumber mengakui bahwa tidak mengetahui  besaran uang yang dipungut oleh panitia PTSL, tidak mengetahui juga penggunaan  anggaran dari uang dari masyarakat itu.  

Seorang warga bernama Ibu Ana, menuturkan bahwa proses PTSL yang  dilakukan di Kelurahan Sendangguwo tidak melalui program sosialisasi kepada 

masyarakat terlebih dahulu. Hal ini tentu saja merugikan masyarakat karena mereka  berasal dari berbagai lapisan masyarakat yang didominasi golongan menengah ke  bawah yang tidak mampu mendapatkan akses pendidikan yang cukup baik. Dengan  begitu, masyarakat tidak dapat memahami PTSL dengan berbagai prosesnya. Hal ini  juga termasuk pada besaran biaya yang perlu dibayarkan kepada otoritas terkait.  Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 16 UU PTSL, beberapa biaya yang perlu  dibayarkan oleh masyarakat yakni biaya biaya-biaya dan/atau pajak.  

Narasumber selanjutnya yakni Pak Harno dan istrinya yang menjadi salah satu  peserta PTSL di Kelurahan Sendangguwo. Mereka mengatakan bahwasannya sertifikat  sudah diberikan akan tetapi masih belum lunas dikarenakan belum ada biaya yang bisa  dibayarkan yakni sebesar Rp.1.250.000. Dan hal tersebut akan diberikan jangka waktu  selama kurang lebih satu tahun untuk melunasi biaya sertifikat tersebut. Jika lebih dari  satu tahun belum dibayar, maka sertifikat akan dikembalikan kembali dan disimpan di  kantor penyelenggara kelurahan tersebut. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan UU  PTSL dan sudah pasti merugikan masyarakat terdampak yang dalam hal ini sebagai  korban. 

Faktor pendidikan yang masih rendah menjadi salah satu penyebab dari adanya  kasus ini. Masyarakat RT 10 Kelurahan Sendangguwo mengakui bahwa mereka adalah  lapisan masyarakat tertinggal secara ekonomi daripada wilayah rukun tetangga lain.  Tidak adanya ahli hukum juga menyebabkan mereka menjadi serta merta menyetujui  akan pungli yang sebesar itu. Menilik dari mata pencaharian warga RT 10 yang sebagai  kuli bangunan dan pedagang, menjadikan sangat miris apabila suatu hal yang  seharusnya mereka dapatkan dengan mudah menjadi 10x lebih sulit dengan adanya  pungutan liar yang dilakukan oleh oknum panitia PTSL. Perangkat desa telah bersikap  ignorant yang menjadikan seolah mereka tidak bisa mengayomi masyarakat yang  ‘dijebak’ oleh oknum panitia PTSL. korban di sini menjadi tidak berdaya karena tidak  bisa membela dengan fakta, gagasan, aturan hukum, karena mereka merasa tidak  memiliki kapabilitas pendidikan sampai ke ranah hukum. Juga masyarakat tidak  mendapatkan bantuan dari perangkat desa yang justru membuat mereka semakin  sengsara dengan nasibnya sebagai korban. Praktik pungli seperti ini sangat  mencerminkan karakter immoral dimana pelaku tidak memiliki moral yang baik.  Korban di sini perlu dilindungi secara hukum, observasi yang telah dilakukan juga  menjadi salah satu batu loncatan dalam pemberian edukasi terkait peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai besaran biaya dalam PTSL yang harus dibayarkan  oleh masyarakat peserta PTSL.  

Penutup  

Dalam tinjauan victimology terhadap kasus praktik pungutan liar pendaftaran tanah  sistematis lengkap (PTSL) di Kelurahan Sendangguwo, dapat disimpulkan bahwa praktik ini  melanggar hak-hak korban dan memberikan dampak yang merugikan bagi mereka. Korban  praktik pungutan liar PTSL ini adalah masyarakat yang membutuhkan layanan dan proses  legalisasi tanah yang sah. Dalam penanganan kasus ini, diperlukan kerjasama antara pihak yang  berwenang dan masyarakat untuk mengungkap dan menghentikan praktik pungutan liar serta 

memperbaiki sistem pendaftaran tanah yang tidak transparan. Solusi yang dapat diberikan yaitu  terhadap warga di Kelurahan Sendangguwo yaitu dengan mengikuti berbagai macam  sosialisasi maupun pembelajaran mengenai pengetahuan terkait pungutan liar PTSL.  Pemerintah bisa memberikan ruang alternatif maupun diskusi antara warga dengan pihak  penyelenggara agar menemukan titik temu sebagai penyelesaian masalah tersebut. Pemerintah  lebih menekankan terhadap pengawasan di lapangan dan kondisi nyata untuk meminimalisir  kecurangan maupun penyalahgunaan wewenang terhadap korban pungutan liar PTSL ini.  Selain itu, dibutuhkan pengembangan program pemahaman hukum dan konsekuensi hukum  bagi para korban, agar mereka dapat melindungi diri sendiri dari praktik serupa dan agar  mengetahui hak-hak mereka sebagai warga negara. Karenanya, sebaiknya pemerintah dan  lembaga yang berwenang memperhatikan masalah ini dengan serius dan menindak tegas  praktik pungutan liar ini demi melindungi hak-hak korban. Hal ini penting agar masyarakat  dapat merasa aman dan terhindar dari tindakan yang merugikan mereka di masa depan.

Daftar Pustaka 

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik  Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Surat Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal  dan Transmigrasi 

Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Comments

Tinggalkan Balasan