Makalah: Kekurangan Komsioner

HUKUM DAGANG: KEKURANGAN KOMSIONER

Disusun oleh:

Meisya Larasati Putri Hermawan (8111422544)

Dosen pengampu : Dr. pujiono S.H., M.H.

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2023

BAB I
LATAR BELAKANG

Berdasarkan pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) lama, pedagang adalah mereka atau orang-orang yang menjalankan kegiatan kegiatan perdagangan sebagai pekerjaannya sehari-hari. Sedangkan pengertian kegiatan perdagangan dijelaskan dalam pasal 3 KUHD lama yaitu perbuatan pembelian barang untuk dapat dijual kembali. Namun, untuk saat ini pengertian tersebut tidak boleh dijadikan patokan dalam berkegiatan. Karena, kegiatan perdagangan tidak serta merta hanya membeli barang kemudian dijual kembali, tetapi menitikkan pada pembelian barang itu pula. Kemudian, setiap kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pengusaha pasti menerapkan beberapa prinsip ekonomi yang merupakan aspek penting dalam berkegiatan dalam melakukan suatu usaha. Salah satunya yaitu dengan pengeluaran semaksimal mungkin, mendapat timbal balik yang semaksimal mungkin pula. Para pelaku usaha harus memikirkan tidak hanya dari sisi materill, namun harus memikirkan dari efektifitas waktu yang dilakukan. Dengan demikian, waktu yang digunakan dalam berkegiatan lebih hemat. Seorang pengusaha juga dibantu oleh Lembaga usaha kerja sama atau yang dikenal dengan “pedagang perantara” seperti agen, distributor, makelar atau komisioner. 

Biasanya yang menggunakan jasa pedagang perantara adalah perusahaan yang sudah memiliki nama dan tergolong besar dalam lingkup daerah pemasarannya. Kegiatan dagang yang dilakukan merupakan kegiatan dagang yang menguntungkan dari pihak pengusaha maupun bagi pihak agen atau komisioner. Jika dilihat dari sisi pengusaha, keuntungan yang didapat yakni dapat menghemat pengeluaran karena tidak membutuhkan lagi pemasaran. Oleh karenanya, pemasaran tersebut akan dilakukan oleh agen atau komisioner. Sedangkan untuk perantara, mereka tidak memerlukan modal yang besar untuk memulai usaha, karena mereka cukup menjadi pembantu dari luar perusahaan untuk mempperoleh suatu keuntungan. 

Namun, tidak sedikit pula pihak-pihak baik pengusaha maupun perantara mengalami kesulitan saat melakukan usaha. Terdakang pihak mereka terjebak dalam menentukan tanggung jawab saat mengalami kerugian baik dalam bentuk cacat tersembunyi maupun tidak aman hukum untuk barang yang dibelinya. Hingga pada akhirnya, seringkali permasalahan tersebut dilimpahkan kepada kepada pelaku usaha begitupun sebaliknya. Pihak yang dinyatakan sebagai penyebab kerugian adalah mereka yang telah melakukan peristiwa hukum baik di dalam maupun diluar kesalahan dan mengakibatkan akibat hukum. Jika perbuatan tersebut menyebabkan kerugian yang ternyata itu diluar kendalinya, maa hukum akan masuk dan mengadili serta membebaskannya dari beban tanggung jawab tersebut, namun sifatnya tidak mutlak. Artinya, hukum tetap mewajibkan pihak yang bersangkutan untuk mengganti rugi atas barang yang rusak tergantung pada kesepakatan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Namun, kewajiba ganti rugi itu tidak disebut sepenuhnya sebagai ganti rugi, akan tetapi disebut dengan resiko yang menimpa pihak atas barang terkait.

Hubungan sebab akibat yang telah terjadi jika barang telah sampai kepada pihak ketiga adalah segera mempertemukan antara penjual dan pembeli secara langsung atau dengan perantara untuk menyelesaikan pertikaian atau kesalahpahaman yang terjadi diantara keduanya. Hal ini mengakibatkan relasi yang kuat berbau hukum. 

PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas mengenai kekurangan komisioner dalam hubungannya dengan berbagai pihak serta tanggung jawab yang dipegang dan dijalankan oleh komisioner. 

PEMBAHASAN

berdasarkan pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, komisioner adalah “seseorang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama atau firma dia sendiri, tetapi atas amanat dan tanggungan orang lain dan dengan menerima upahan atau provisi tertentu.” Dengan demikian, komisioner merupakan orang yang melakukan pekerjaan untuk orang lain, sementara dalam pelaksanaanya ia sendiri yang bertanggungjawab atas segalanya. Ia menjalankan perusahaan dengan membuat perjanjian atas Namanya sendiri dan akan mendapatkan komisi atas perintah dari orang lain. Disini peran komisioner berada pada tengah-tengah. Komisioner dapat lepas dari nama penjual dan dapat juga terikat oleh penjual Ketika ada “kuasa” di dalamnya.

Komisioner dapat bekerjasama dengan siapapun jika telah mendapat perintah untuk bertindak, seorang komisioner tidak diwajibkan untuk menyebutkan kepada pihak ketiga degan siapa ia berniaga. Kedudukan komisioner adalah pihak yang mengadakan suatu persetujuan, oleh karena itu pihak lain tidak perlu mengetahui bahwa yang bersangkutan itu bertindak untuk kepentingannya sendiri atau tidak. Selain itu, komisioner juga dilarang untuk melakukan perdagangan yang merugikan komitenya. 

Berbeda dengan seorang makelar, seorang komisioner tidak ada penyumpahan dan pengangkatan oleh presiden, tidak dibebani dengan kewajiban dan tidak ada perintah untuk menjauhi larangan sebagaimana yang dilakukan oleh makelar. Banyak orang yang masih beranggapan bahwasannya makelar dan komisioner adalah hal yang sama. Padahal, faktanya makelar dan komisioner itu berbeda. 

Komisioner memiliki hak khusus yang tertulis dalam Undang-Undang, yakni berupa hak “retensi”, yakni hak utnuk menahan barang komisioner hingga biaya-biaya pembelian telah dibayar oleh komitenya. Hal ini dijelaskan pada pasal 85 KUHD yang berbunyi “pemberian hak-hak tersebut pada pasal 81, 82, dan 83 sama sekali tidak mengurangi hak menahan yang diberikan kepada komisioner oleh pasal 1812 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” Pada pasal 1812 KUH Per dijelaskan bahwa “si kuasa adalah berhak untuk menahan segala atas kepunyaannya si pemberi kuasa yang berada di tangannya sekian lamanya, hingga kepadanya telah dibayar lunas segala apa yang dapat dituntutnya sebagai akibat pemberian kuasa.” 

Hak khusus lainnya adalah hak “istimewa” yaitu dapat menjual barang milik komitenya jika setelah dilakukan retensi belum juga dilunasi komisi dan biaya lain yang telah dikeluarkan oleh komisioner. Maka komsioner berhak untuk menjual barangnya untuk memperoleh suatu pelunasan. 

Berbeda dengan soerang makelar yang disumpah dan diangkat oleh presiden, maka komisioner bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Jadi, apabila ada kesalahan, komisionerlah yang bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Komisioner juga tidak diwajibkan membuat buku harian untuk mencatat segala transaksi yang masuk dan keluar, jadi apabila terjadi kesalahan dalam transaksi dan komisioner tidak mencatat tranksaksi tersebut justru akan menyulitkan komisioner itu sendiri karena tidak ada pencatatan dalam buku harian tersebut.

Selain itu, komisioner mendapatkan upah juga tidak selalu sama karena ia tidak berada dibawah sumpah seperti seorang makelar. Seorang makelar karena sudah diangkat dan disumpah oleh presiden dan pembesar lainnya maka hasil dari pekerjaannya sudah ditentukan oleh presiden. 

Komisioner tidak mempunyai hak tagihan terhadap pihak siapa komisioner itu bertindak, dan komisioner pun tidak dapat menuntut pemberi amanat. Namun, Ketika seorang komisioner ini bertindak atas nama pemberi amanat, maka segala hak dan kewajibannya juga terhadap pihak ketiga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH PER) tentang pemberian kuasa. Hal ini dijelaskan dalam KUHD pasal 78 “pihak yang memberi amanat kepadanya tak mempunyai hak menuntut terhadap pada pihak, dengan siapa komisioner itu telah bertindak, sepertipun pihak yang belakangan ini tak berhak menuntut kepada pemberi amanat.” Dan pasal 79 “jika namun itu seorang komisioner bertindak atas nama pengamanatnya, maka segala hak dan kewajibannya, pun terhadap ihak ketiga, dikuasai oleh ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada bab tentang pemberian kuasa.”

Dalam pertanggungjawabannya terhadap komiten, komisioner harus melakukan komisi dengan sebaik-baiknya.dia bertanggungjawab kepada komiten apabila pemberian kuasa itu tidak dilaksanakan sebagaimana semestinya. Bahkan, berdasarkan pasal 1800 ayat (1) KUHPer, komisioner ini juga bertanggungjawab terhadap biaya, kerugian, bunga yang mungkin timbul karena tidak terlaksananya prestasi debitur. Selain itu, dalam pasal tersebut komisioner diharuskan untuk memberikan pertanggungjawaban sesegera mungkin kepada komiten.

Ketika terjadi suatu perjanjian antara komisioner dan komiten atau yang disebut dengan perjanjian pemberian kuasa khusus, ada beberapa yang sifatnya khusus. Salah satunya adalah apabila terjadi suatu praktik yang dilakukan oleh komisioner dengan komiten yang mengakibatkan suatu akibat hukum, sangat disayangkan pernjanjian komisi ini tidak banyak diatur dalam Undang-Undang. 

Praktik lapangan yang dilakukan oleh komisioner sering mejanjikan perjanjian dengan pihak ketiga yang menguntungkan. Apabila perjanjian tersebut benar menguntungkan, maka komisioner akan mendapat tambahan provisi dari pemberi kuasa atau disebut dengan Del Credere. Hal ini bisa dilakukan secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Namun, apabila terjadi kesalahan dalam praktik ini dan pihak ketiga merasa dirugikan, maka yang bertanggungjawab atas kerugian tersebut adalah komisioner. 

KESIMPULAN

Komisioner merupakan seseorang yang menjalankan perusahaanya atas nama ssendiri, bertindak atas perintah dan tanggungan orang lain untuk tindakanya itu mendapatkan upah atau provisi. Komisioner juga tidak ada pengangkatan resmi dari pemerintah, serta tugas dari seorang komisioner ini adalah menghubungkan komiten dengan pihak ketiga atas Namanya sendiri. Dalam menjalankan tugasnya, komisioner tidak memiliki kewajiban untuk menyebutkan dengan siapa ia bekerja atau menyebut nama komitenya. Selain itu, komisioner juga tidak berkewajiban untuk membuat pembukuan untuk setiap bulannya akan di check oleh petinggi perusahaan tersebut. Komisioner memiliki hak berupa hak retensi untuk menahan barang-barang komiten dan berhak pulla menjualnya sebagai ganti Ketika uangnya belum kembali sepenuhnyaa. 

Pada prakteknya, komisioner seringkali mengalami permasalahan yang mengakibatkan komisioner harus bertanggungjawab Ketika terdapat barang yang cacat. Karenanya komisioner bekerja atas firmanya sendiri, maka dari itu semua biaya, sewa, dan kebutuhan lain terkait cacat atau rusakya barang komisionerlah yang menanggung. 

DAFTAR PUSTAKA

Banjaransari, A. P. (2021). Pertanggungjawaban Makelar dan Komisioner Kepada Pihak Ketiga Berdasarkan Hukum Dagang Indonesia. Yustisabel, 11-16.

Haryanto, E. (2013). Hukum Dagang dan Perusahaan di Indonesia. Pekanbaru: CV. Salsabila Putra Pratama.

Khairandy, R. (2013). Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.

Qustulani, M. (2018). Hukum Dagang. tangerang: PSP Nusantara Press.

Ramlan. (2009). Intisari Pengantar Hukum Dagang I. Medan: CV. Ratu Jaya.

Safira, M. E. (2017). Hukum dagang Dalam Sejarah Dan Perkembangannya di Indonesia. Ponorogo: CV. Nata Karya.

Setiawan, I. K. (2014). Tanggungjawab Pedagang Perantara Terhadap Pihak Ketiga Menurut Hukum Jual Beli. Law Review, 88-94.


Terbit

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan