BILA SEORANG LAWYER PULANG KAMPUNG
HOME SWEET HOME
Kurang 9 tahun gue hidup merantau jauh dari rumah. Perantauan pertama gue adalah Kota Semarang, tempat gue menuntaskan pendidikan Sarjana Hukum. Kemudian dari Semarang gue hijrah menjadi seorang lawyer jalanan di ibu kota.
Semenjak merantau, kalau dihitung-hitung, gue paling pulang kampung baru 4 kali. Menurut lo semua, durhaka gak sih gue? Sebenarnya bukan karena gue gak ingat kampung halaman, atau tidak rindu orang tua. Hanya saja waktu dan kesempatan yang menjadi pemisah antara gue dan kerinduan gue.
Nah.. moment pulang kampung ini selalu menjadi momen penuh emosi dan air mata bagi gue..(#halahh lebay ahh). Kenapa gue bilang penuh air mata? Karena perjalanannya jauh dan harus gonta-ganti moda kendaraan. Pertama pesawat trus mobil dan mobil lagi. Dan bayangkan, kendaraan umum di sana tidak senyaman di Jawa yang spesial ini. Nyiksa banget kan, kalo lo harus duduk sempit-sempitan di sebuah mini bus, dengan kecepatan tak kurang dari 12okm/jam dan ditempuh selama 8 jam.. 8 JAM sodara-sodara,,, nangis gak lo.
Namun semuanya tak hanya derita. Pemandangan sepanjang jalan cukup menghibur hati gue lah. Walaupun pemandangan dari Medan sampai daerah Tiga Dolok gue hanya bisa melototin kebun sawit dan kebon karet. Tapi lewat itu, view akan berganti dengan panorama danau Toba yang sangat luar biasa indahnya… Sumpah gue gak bohong,, jujur saja, gue sampe gak bisa memilih kata untuk menggambarkannya di tulisan ini. Intinya, lo penasaran, ayo ikut gue pulang kampung.
Setelah 9 tahun gue gak pernah lagi merayakan natal di kampung, akhirnya Desember 2015 gue berniat pulang kampung. Syukurnya Tunjangan hari raya tahun 2015 melebih ekspektasi, so bisalah rada bergaya dikit. hehehe
Dan kebiasaan buruk gue yang selalu diomelin oleh mamak gue adalah, kalau pulang kampung selalu dadakan dan gak pernah ngasi tau tanggal kepulangan. Hahahaha,,, maklum, gue sok-sok bikin surprise gitu lah buat orang tua. Padahal niat gue gak ngasi tahu adalah mencegah teror dari mamak gue. Tau gak teror yang gue maksud di sini?
Jadi mamak gue ini, kalau tau gue udah oteweh ke rumah, hampir satu kali dalam 30 menit akan menelepon untuk menanyakan posisi gue. Sebel gak sih? Gak juga sih.. hehehe #takut dibilang duhako. Masalahnya adalah perjalanan sejauh itu baterai handphone loe udah sekarat, tapi masih ditelponin. Trus belum lagi kalo gue berniat mau tidur, kan bakal buyar semuanya.
Tanggal 23 Desember 2015 mendarat lah gue dengan ganteng di Bandara Kualanamu Lubuk Pakam. Lumayanlah, bandara baru jadi masih bagus gitu bangunannya. Sebelumnya gue udah janjian ama teman gue untuk pulang bersama ke Tarutung. Kebetulan gue liat dia cek in di bandara Soeta pagi harinya. Asik juga, akhirnya nemu teman seperjalanan. Tapi gue harus nunggu dia kurang lebih 30 menitlah, karena beda pesawat. hehehe
Nunggu 30 menit tak apa-apalah, hitung-hitung ngilangin jetlag, sambil minum jus terongon belanda (di kampung gue bilangnya Jus Tiung) di satu cafe yang ada di dalam pintu kedatangan bandara. Tak salah gue milih tempat ini, ternyata para pramugari dari Etihad sedang melepas dahaga juga di tempat ini. hhahahaha… mata gue jelalatan melirik kakak-kakak pramugari yang berwajah arab-arab gitu. #ketawa mesum.
Setelah ketemu teman gue, akhirnya gue milih naik damri ke kota Medan, menuju loket bus jurusan Medan Tarutung. Awalnya gue mau naik travel yang dijemput dari bandara langsung ke Tarutung. Teman gue yang seorang anggota marinir ini pun, menolak segala bentuk kenyamanan yang gue usulkan. Ahh sudah lah, hitung-hitung bertualang bersama kawan. #hati gue menjerit.
Kurang lebih 45 menit, tiba lah kami di loket bus jurusan Medan Tarutung. Bus bernama Koperasi Bintang Tapanuli (KBT) ini, seumur-umur belum pernah gue naiki. Harganya sih cukup bersahabat, namun ya gitu dehhh. Sejak dulu, keluarga gue sudah berlangganan dengan Travel Tobali yang bisa dijemput dan diantar sampai depan pintu, dan armadanya cukup nyawan. Namun harganya bisa sampai 4 kali lipat bu KBT ini.
Yang membuat mata gue terbelalak, bukan karena bus nya, namun antrian orang yang berjubel untuk pulang kampung. Maklum kampus dan kantor-kantor sudah pada libur menyambut natal dan tahun baru. Hati gue down… perut gue lapparrr, dari pagi baru makan paket makanan yang tersedia di dalam pesawat. Mana cukup lahhh…
Tiket habis sudah. Mereka yang sudah pegang tiket, nasibnya pun tak jelas, karena armada belum ada yang siap berangkat. Gue bingung, teman gue bingung, dan kami semua bingung. Kebetulan di sana ketemu lagi dengan 4 orang teman semasa SMA dulu, yang hendak pulang ke Tarutung juga.
Akhirnya kami mengambil langkah berani dan tepat. Kita carter mobil. Akhirnya kami urunan Rp. 160.000,00/orang sekitar 7 orang dan ketemulah mobil grand livina butut. 6 jam sudah kami menunggu, akhirnya sebelum magrib kami berangkat.
Karena perjalanannya malam, tak banyak pemandangan yang bisa gue ceritanya. Hanya cerita duka dan perih yang terjadi malam itu sepanjang perjalanan dari Medan sampai Tarutung. Bayangkan mobil grand livina diisi 8 orang termasuk supir. Tapi apa daya, demi rinduku kepada emak dan bapak, gue rela menderita selama 8 jam.
Jam 3 subuh kami tiba di Tarutung. Sedianya gue akan diantar sampai depan rumah, gue mengibarkan bendera putih, karena gue dapat giliran terakhir. Gue minta diturunkan di depan rumah teman gue, yang kebetulan di pinggir jalan besar. Gue telpon abang gue buat jemput ke sana. Punggung gue nyeri hampir tidak dapat diluruskan. 5 menit kemudian tiba lah gue di rumah orang tua gue. Home sweet home. Emak bapak gue kebangun dan tak percaya melihat sosok gue sedang duduk manis di sofa ruang tamu.
Udara dingin hampir membeku kan gue. Gue iseng cek suhu udara melalui smart phone, dan lo tau berapa derajat suhu saat itu, 7 derajat celcius sodara. Gue berlari ke luar sambil berharap melihat salju turun. #plak dikeplak ama abang gue, This is Tarutung #sambil merentangkan tangan ala Dominic Toreto.
Akhirnya gue tidur di kamar belakang, meluruskan badan berselimutkan duka semua cadangan selimut emak gue. Dinginnya menusuk sampai ke tulang, dengan kesal gue memandang seluruh lemak di badan gue, “dasar lemak-lemak tak berguna, masa sama dingin aja kalah.”
Besoknya gue bangun pagi, udah kebiasaan gue sih selalu bangun pagi.. hahaha. Emak udah berangkat ke pasar. Gue duduk di dekat jendela memandang ke luar yang masih berselimutkan embun pagi. Belek-belek berwarna hijau masih nyaman bertengger di sudut mata gue. ahhh… sejuknya pagi ini.
Tak lama emak gue pulang dari pasar membawa tas kain yang terisi penuh barang belanjaan (Canggihkan emak gue, sebelum pemerintah menyerukan pengurangan pemakaian kantong plastik, emak gue udah mulai duluan). Gue senyum-senyum penuh harap, seolah-olah berharap emak gue gak melupakan makanan kesukaan gue yang dijualnya hanya di pasar dan itu cuma hari rabu dan sabtu.
Emak gue pun mengeluarkan sebuah kotak makan dari kantong ajaibnya. Gue mencium bau harus Kue Talam. hahahaha,,, gue loncat, cuci muka ke kamar mandi, kan gak asik jika makan kue talam tiba-tiba belek gue terjun bebas ke makanan surgawi tersebut.
Perlahan gue nikmati rasa tepung ketan bercampur dengan manisnya gula merah dan santan kental. Meleleh di mulut. Ahhh nikmat kali bah, kata ku sambil menyeruput segelas kopi.
Habis makan, gue belum berani mandi, padahal emak gue udah memanaskan air untuk dipakai mandi. Gue memandang air di bak, seperti lelehan gletser di kutub selatan. Dinginnya polll…
Sehabis makan kue talam, emak gue bilang, “nga hu tuhor jagal babi sakilo. Bahen saksang da amang, nga malungun iba mangallang lompa-lompam. (itu udah mamak beli daging babi 1 kg. Kau masak saksanglah ya amang, udah kangen mamak sama masa kan mu).”
Mak gue selalu tahu caranya mencegah gue menghilang dari rumah secara halus. Dia tahu kalau gue suka memasak kalau sudah pulang ke rumah. Satu hari itu, gue memilih tetap tinggal diam di rumah. Demi menuntaskan kerinduan mak gue, sambil tak henti-hentinya mulut ini mengunyah..
Sekian tentang BILA SEORANG LAWYER PULANG KAMPUNG.
Terima kasih.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.