Makalah: Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional

Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional

Dosen Pengampu : Dr. Rofi Wahanisa S.H., M.H. 

Disusun Oleh : 

Mohammad Fidel Ughniyah Gibran (8111422451) Shabrina Alifah Pinasti (8111422467) Aulia Yudatining Ummi (8111422480) Muhammad Arel Ocean Wiranto (8111422482) Afifah Khoirunnisa Azzahro (8111422484) 

ILMU HUKUM 

FAKULTAS HUKUM 

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 

TAHUN 2023

KATA PENGANTAR 

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan  hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Prinsip – Prinsip Hukum Tanah Nasional” 

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Agraria. Penulis sangat  berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca  mengenai Prinsip-Prinsip Hukum Agraria. 

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Rofi Wahanisa S.H., M.H.selaku Dosen  Pengampu Mata Kuliah Hukum Agraria. Ucapan Terimakasih juga disampaikan kepada semua  pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. 

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari  penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami  dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki  makalah ini. 

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga  inspirasi untuk pembaca. 

Semarang, 26 Maret 2023 

Penulis

DAFTAR ISI 

PRINSIP-PRINSIP HUKUM TANAH NASIONAL……………………………………………………1 KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………………..ii BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………1 

1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………………………………………………1 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………………………2 BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………….2 BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………………………………8 3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………..8 3.2 Saran…………………………………………………………………………………………………………………8 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………9

ii 

BAB I 

PENDAHULUAN 

1.1 Latar Belakang Masalah  

Hukum Agraria adalah badan standar hukum tertulis dan tidak tertulis yang mengatur  mengenai subjek hukum di sektor agraria. Agraria adalah istilah yang digunakan dalam  administrasi pemerintahan Indonesia untuk merujuk pada tanah atau lahan pertanian dan non pertanian. Hukum agraria adalah kumpulan disiplin hukum, termasuk hukum pertanahan, air,  pertambangan, perikanan, dan hukum kontrol atas kekuasaan dan komponen dalam ruang  angkasa, yang masing-masing mengatur hak kontrol atas sumber daya alam. Tanah dapat  dimanfaatkan sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan penduduk Indonesia. Akibatnya,  tindakan resmi dari pemerintah diperlukan untuk membantu mengendalikannya. 

Undang-undang dasar pertanahan untuk undang-undang agraria fundamental yang baru  terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar  Pokok – Pokok Agraria (UUPA), yang merupakan peraturan formal yang berlaku untuk semua  orang. Oleh karena itu, disebut hukum pokok agraria dengan memperhatikan peraturan ini  diperlukan berbagai peraturan yang mengatur secara teknis (pedoman pelaksanaan) sehingga  dikeluarkan berbagai peraturan untuk pelaksanaan hukum agraria dasar penyesuaian Hukum  Agraria, serta kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan yang memberikan  kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat secara keseluruhan. Menurut Pasal 33  Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, “Bumi, air, dan  sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dipegang oleh negara dan digunakan untuk  kemakmuran terbesar rakyat,” ini sesuai dengan kewajiban konstitusional. Menurut Pasal  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 Tentang Dasar-Dasar Pertanian, tanah dalam arti  hukum adalah permukaan bumi. Karena selalu ada hubungan langsung antara manusia dan  tanah, tanah sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia. Karena tanah itu berfungsi  sebagai modal utama dan modal bagi sebagian besar wilayah Indonesia, jelas bahwa ada  interaksi yang erat antara manusia dan tanah dalam hal ini. Karena tanah ada sebelum manusia  lahir dan manusia tidak dapat hidup tanpanya, oleh karena itu manusia bergantung pada tanah. 

Tanah juga merupakan simbol sosial dalam masyarakat dimana penguasaan terhadap  sebidang tanah melambangkan pula nilai kehormatan, kebanggaan dan keberhasilan pribadi  sehingga secara ekonomi, sosial dan budaya, tanah yang dimiliki menjadi sebuah sumber  kehidupan, simbol identitas, hak kehormatan dan martabat pendukungnya sehingga diperlukan  pengaturan pendaftaran tanah sebagai implementasi penguasaan hak milik atas tanah tersebut.  Karena tanah memiliki nilai ekonomis, maka hak milik tanah diperjualbelikan atau dapat  dialihkan haknya melalui hibah, jual beli, waris dan yang lainnya.  

Permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan, kepemilikan, dan pengalihan hak  atas tanah memerlukan perhatian khusus dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka  mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang diinginkan oleh masyarakat luas,  khususnya bagi masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, perlu  adanya aturan dan prinsip-prinsip hukum tanah nasional yang dapat mengatur bagaimana cara 

memperoleh hak milik atas tanah dalam rangka mengatur penegakan hukum dan kepastian  hukum tersebut. 

1.2 Rumusan Masalah 

Berdasarkan uraian paragraf diatas dapat dirumuskan permasalahan : 

1. Bagaimana prinsip-prinsip Hukum Tanah Nasional dalam Undang-Undang Pokok  Agraria? 

2. Mengapa prinsip hukum tanah nasional perlu ditetapkan? 

3. Apa landasan peraturan penetapan prinsip hukum tanah nasional? 

BAB II 

PEMBAHASAN 

Prinsip Hukum Tanah Nasional merupakan suatu hal dasar yang dijadikan acuan  berpikir dan bertindak dalam mengambil keputusan penting terhadap penguasaan tanah  khususnya di Indonesia. Sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun  1960 atau yang biasa disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Di dalam  Undang-Undang tersebut telah dijelaskan bahwa prinsip hukum tanah nasional ini dibagi  menjadi beberapa prinsip ataupun asas. Asas atau prinsip yang dijelaskan yaitu ada asas  nasionalitas, asas hak menguasai negara, asas pengakuan hak ulayat, asas tanah mempunyai  fungsi sosial, asas perlindungan, asas tata guna tanah, asas persamaan hak antara laki-laki dan  perempuan, asas tanah untuk pertanian. 

Asas yang pertama yaitu Asas Nasionalitas, asas ini menyatakan bahwa hanya warga  negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai  hubungan dengan bumi serta ruang angkasa dengan tidak membedakan jenis kelamin antara  laki-laki dengan wanita serta sesama warga negara Indonesia baik asli maupun keturunan.  Artinya siapa saja warga negara Indonesia berhak memiliki hak atas tanah tanpa membeda 

bedakan satu sama lain, baik laki-laki ataupun perempuan. Asas ini juga menerangkan bahwa  setiap warga negara Indonesia sajalah yang berhak mempunyai hak atas tanah, warga negara  asing tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah di Indonesia. 

Asas Nasionalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dalam Undang Undang Pokok Agraria. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan  bahwa “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia  yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.” Artinya wilayah Indonesia merupakan kesatuan tanah  air yang berasal dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu dan dinamakan menjadi bangsa  Indonesia. Singkatnya pasal tersebut menjelaskan tentang wilayah Indonesia yang berasal dari  mana dan terdiri dari apa saja. 

Kemudian pada Pasal 1 ayat (2) menjelaskan bahwa “Seluruh bumi, air dan ruang  angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik  Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa  Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.” Pada pasal tersebut menjelaskan kekayaan  alam nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kekayaan alam nasional yang dimiliki  oleh bangsa Indonesia yang sudah dijelaskan pada ayat (2) tersebut berasal dari seluruh bumi 

baik air, ruang angkasa, dan termasuk kekayaan alam yang tersebar di seluruh wilayah  Indonesia. 

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria berbunyi “Hubungan antara bangsa  Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah  hubungan yang bersifat abadi.” Dalam pasal ini menjelaskan bahwa hubungan antara bangsa  Indonesia dengan kekayaan alam yang ada di dalamnya baik bumi, air, serta ruang angkasa  sebagaimana dijelaskan dalam pasal (2) merupakan hubungan yang bersifat kekal atau abadi.  Karena bangsa Indonesia tidak bisa terlepas dari kekayaan alam yang ada, mereka tetap akan  mengandalkan dan memanfaatkan kekayaan alam yang telah dikaruniai oleh Tuhan. 

Dapat disimpulkan pada Asas Nasionalitas bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dalam  wilayah Indonesia merupakan hak seluruh bangsa Indonesia. Tanah atau daerah yang terpencil  juga merupakan hak seluruh rakyat Indonesia. Kemudian yang mempunyai hak atas tanah  hanya warga Indonesia saja, warga negara asing tidak diperbolehkan. Laki-laki dan  perempuan dalam hal ini mempunyai kesempatan yang sama atas hak milih tanah. 

Asas yang kedua adalah Asas Hak Menguasai Negara yaitu bahwa bumi, air dan ruang  angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi  dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Asas ini berarti bahwa  negara lah yang memegang kekuasaan tertinggi untuk menguasai seluruh kekayaan alam yang  telah diberikan oleh Tuhan. Kekayaan alam yang dikuasai negara ialah bumi, air, ruang  angkasa, serta kekayaan alam lainnya yang terkandung di dalamnya. 

Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 2  ayat (1) berbunyi “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan  hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk  kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,  sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.” Artinya negara sebagai organisasi kekuasan  seluruh rakyat menguasai seluruh kekayaan alam yang ada di dalam nya baik bumi, air, dan  ruang angkasa. 

Pasal 2 ayat (2) berbunyi “Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal  ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,  persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan  mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang  angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan  perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.” Dalam pasal ini  dijelaskan wewenang yang harus dilaksanakan oleh negara tentang Asas Hak Menguasai  Negara perihal tanah atau agraria. 

Asas Hak Menguasai Negara disimpulkan bahwa negara lah yang menduduki  peringkat tertinggi sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk menguasai kekayaan  alam yang ada baik bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam lainnya yang terkandung di  dalamnya. Di samping itu negara juga mempunyai wewenang untuk menguasai kekayaan  alam sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria.  Jadi saat negara menguasai tidak melakukannya secara semena-mena melainkan sudah  dijelaskan dan diatur dalam pasal tersebut. Kemudian Asas yang ketiga ialah Asas Pengakuan  Hak Ulayat. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat 

tertentu atas suatu wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para  warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, air serta isinya sesuai  dengan peraturan perundang- undangan. Kedudukan hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak  ulayat mendapat tempat dan pengakuan dari Negara sepanjang menurut kenyataan masih  ada. Asas Pengakuan Hak Ulayat ini diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang  Pokok Agraria. 

Pasal 3 berbunyi “ Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2  pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,  sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan  kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh  bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”  Artinya pada Pasal 3 ini mengatur tentang pengakuan terhadap hak ulayat dan hak yang  serupa. Pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat dibatasi oleh tiga hal yaitu yang pertama  sepanjang masih ada dalam kenyataan, kedua sesuai dengan kepentingan nasional, ketiga  tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 

Selanjutnya dalam Pasal 5 mengatakan bahwa “ Hukum agraria yang berlaku atas  bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan  kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan  sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang 

undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan  unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. “ Dijelaskan bahwa pengakuan eksistensi  Hukum Adat sebagai sumber utama Hukum Agraria nasional dibatasi pada tiga hal. Yaitu  sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, didasarkan pada persatuan dan  kesatuan bangsa, didasarkan pada peraturan perundang-undangan, dan yang terakhir  mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama. 

Asas selanjutnya adalah Asas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial yaitu suatu asas yang  menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain  dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan. Asas yang merupakan manifestasi dari  asas komunal dalam hukum adat ini bertujuan untuk memberikan keseimbangan antara  kepentingan pribadi pemilik tanah dan kepentingan masyarakat secara umum. Tidak dapat  dibenarkan jika seseorang berdasarkan hak atas tanah yang dimilikinya kemudian  menggunakan tanah yang dapat menimbulkan kerugian dalam masyarakat. Penggunaan  tanah harus disesuaikan dengan keadaan, sifat daripada haknya, dan bisa meningkatkan  kesejahteraan bagi masyarakat ataupun negara.  

Asas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 15 Undang Undang Pokok Agraria. Di dalam Pasal 6 ini menjelaskan bahwa “Semua hak atas tanah  mempunyai fungsi sosial. “ Artinya semua hak tanah yang dimiliki perorangan ataupun hak  tanah yang dikuasi oleh negara ini selalu mempunyai fungsi sosial yang dapat diambil untuk  kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Bukan pula berarti bahwa kepentingan  perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum ataupun masyarakat. 

Dalam Pasal 15 menerangkan bahwa “ Memelihara tanah, termasuk menambah  kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum  atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan

pihak yang ekonomis lemah. “ Menjelaskan tentang fungsi sosial tanah. Bahwa tanah harus  dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegang kerusakannya.  

Pada asas ini dapat diartikan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.  Kemudian tanah wajib digunakan sesuai fungsi sehingga memberi kemanfaatan bagi  kesejahteraan bangsa dan negara. Tidak dibenarkan jika tanah tersebut hanya digunakan  untuk kepentingan pribadi perseorangan yang memiliki hak atas tanah tersebut. Jika tanah  pribadi dipakai untuk kepentingan umum, maka orang tersebut harus mendapatkan ganti rugi.  Dalam hal mencegah kerusakan tanah adalah kewajiban setiap orang, badan hukum, ataupun  instansi. Tanah juga harus dipelihara baik-baik agar bertambah kesuburannya. 

Asas perlindungan dalam konteks prinsip pertanahan nasional merujuk pada prinsip prinsip yang bertujuan untuk melindungi hak pemilik tanah dan mendorong penggunaan  tanah yang efisien dan berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini tercantum dalam Pasal 5 Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang merupakan dasar hukum  utama dalam hal pertanahan di Indonesia. 

Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa “Pengaturan mengenai tanah dan  sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dilakukan untuk mewujudkan kemakmuran  rakyat dan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan  Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” 

Pasal ini menekankan bahwa pertanahan harus dikelola dengan tujuan yang jelas untuk  mendorong kemakmuran rakyat dan kesejahteraan masyarakat secara adil dan berkelanjutan.  Untuk mencapai tujuan ini, prinsip-prinsip perlindungan dalam pengelolaan pertanahan harus  diterapkan. 

Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah: 

1. Hak atas tanah harus diakui dan dilindungi sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. 

2. Penggunaan tanah harus efisien dan produktif, dengan mempertimbangkan kepentingan  umum dan keseimbangan ekologis. 

3. Penggunaan tanah harus berkelanjutan dan memperhatikan faktor-faktor lingkungan  yang berdampak pada kelestarian tanah dan sumber daya alam yang terkandung di  dalamnya. 

4. Pemanfaatan tanah harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial  bagi seluruh masyarakat. 

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, diharapkan bahwa pengelolaan pertanahan di  Indonesia dapat menghasilkan manfaat yang optimal bagi masyarakat secara keseluruhan,  sambil melindungi hak pemilik tanah dan keberlanjutan lingkungan. 

Asas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam konteks prinsip pertanahan  nasional merujuk pada prinsip bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama  terhadap tanah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Prinsip ini bertujuan  untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan diakui dan dilindungi dalam hal kepemilikan,  penggunaan, dan pengelolaan tanah, serta untuk mendorong partisipasi perempuan dalam  pengambilan keputusan terkait pertanahan.

Dasar hukum untuk asas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam konteks  pertanahan tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, di  antaranya adalah Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok  Agraria. 

Pasal 6 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa “Setiap orang yang  memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak  atas tanah yang dijamin dengan hak atas tanah.” 

Pasal ini menegaskan bahwa hak atas tanah dapat dimiliki oleh siapa saja, tanpa  membedakan gender. Dalam praktiknya, namun, seringkali terjadi diskriminasi terhadap  perempuan dalam hal kepemilikan tanah, terutama di daerah pedesaan. Oleh karena itu, perlu  adanya upaya untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan diakui dan dilindungi secara  efektif dalam hal pertanahan. 

Selain UU No. 5 Tahun 1960, prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan  dalam konteks pertanahan juga tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan  lainnya, seperti Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang  No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. 

Dengan menerapkan prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam  pengelolaan pertanahan, diharapkan bahwa perempuan dapat memiliki akses yang lebih baik  terhadap tanah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, serta dapat  berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait pertanahan. Hal ini dapat  memberikan manfaat yang signifikan bagi kesejahteraan perempuan dan keluarga mereka,  serta berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif secara sosial. 

Asas Tata Guna Tanah dalam konteks prinsip pertanahan nasional merujuk pada prinsip  bahwa tanah harus dikelola dan dimanfaatkan secara efisien, produktif, berkelanjutan, serta  sesuai dengan kebutuhan dan potensi setempat. Prinsip ini bertujuan untuk memastikan  bahwa penggunaan tanah dilakukan secara optimal, sehingga dapat memberikan manfaat  yang maksimal bagi masyarakat dan lingkungan. 

Dasar hukum untuk asas Tata Guna Tanah tercantum dalam beberapa peraturan  perundang-undangan di Indonesia, di antaranya adalah Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun  1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. 

Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa “Setiap orang berkewajiban untuk  menggunakan tanahnya dengan penuh tanggung jawab dan hati-hati sedemikian rupa  sehingga tidak menimbulkan bahaya atau kerusakan bagi orang lain atau bagi lingkungan  sekitar.” 

Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang yang memiliki hak atas tanah memiliki  kewajiban untuk memanfaatkan tanah tersebut dengan cara yang bertanggung jawab dan  berkelanjutan. Hal ini mencakup pemenuhan aspek-aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dan  budaya dalam pengelolaan tanah, serta penyesuaian dengan kebutuhan dan potensi setempat.

Selain UU No. 5 Tahun 1960, prinsip Tata Guna Tanah juga tercantum dalam berbagai  peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang  Kehutanan, Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan Undang-Undang No.  6 Tahun 2014 tentang Desa. 

Dengan menerapkan prinsip Tata Guna Tanah dalam pengelolaan pertanahan,  diharapkan bahwa penggunaan tanah dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan,  sehingga memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan lingkungan. Hal ini dapat  berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif secara sosial, serta  membantu memastikan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk  generasi yang akan datang 

Tanah Untuk Pertanian dalam konteks prinsip pertanahan nasional merujuk pada  prinsip bahwa tanah harus dimanfaatkan secara optimal untuk kegiatan pertanian dan  kehutanan. Prinsip ini bertujuan untuk memastikan bahwa sumber daya tanah yang tersedia  digunakan dengan efisien untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kehutanan nasional. 

Dasar hukum untuk prinsip Tanah Untuk Pertanian tercantum dalam beberapa  peraturan perundang-undangan di Indonesia, di antaranya adalah Pasal 19 Undang-Undang  No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 33 Undang-Undang No. 12 Tahun 1992  tentang Sistem Pertanahan Nasional. 

Pasal 19 UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa “Pemanfaatan hutan dilakukan  secara terencana dan terpadu dengan memperhatikan fungsi dan kepentingan hutan dalam  rangka pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan serta meningkatkan  kesejahteraan masyarakat, dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlangsungan fungsi  ekologis hutan.” 

Pasal ini menegaskan bahwa pemanfaatan hutan harus dilakukan secara terencana dan  terpadu, serta memperhatikan fungsi dan kepentingan hutan dalam rangka pembangunan  nasional yang berwawasan lingkungan. Hal ini mencakup penggunaan hutan untuk kegiatan  pertanian dan kehutanan, dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlangsungan fungsi  ekologis hutan. 

Selain itu, Pasal 33 UU No. 12 Tahun 1992 menyatakan bahwa “Tanah yang sesuai  untuk pertanian dan/atau kehutanan, hendaknya didayagunakan sesuai dengan  peruntukannya masing-masing.” 

Pasal ini menegaskan bahwa tanah yang sesuai untuk kegiatan pertanian dan kehutanan  harus dimanfaatkan secara optimal untuk peruntukannya masing-masing. Hal ini mencakup  pemenuhan kebutuhan pangan dan bahan baku kayu untuk industri, serta peningkatan  kesejahteraan masyarakat di pedesaan. 

Dengan menerapkan prinsip Tanah Untuk Pertanian dalam pengelolaan pertanahan,  diharapkan bahwa tanah yang sesuai untuk kegiatan pertanian dan kehutanan dapat  dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kehutanan nasional,  serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Hal ini dapat berkontribusi pada 

pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif secara sosial, serta membantu memastikan  keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk generasi yang akan datang. 

BAB III 

PENUTUP 

3.2 Kesimpulan  

Prinsip hukum tanah agraria adalah hal mendasar yang dijadikan sebagai acuan  untuk berpikir dan bertindak dalam menentukan keputusan terhadap penguasaan tanah  di indonesia. Adapun asas asas yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960  atau yang biasa disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu : Asas  Nasionalitas, Asas pengakuan hak wilayah, Asas hak menguasai negara, Asas tanah  mempunyai fungsi sosial, Asas perlindungan, Asas Persamaan hak antara laki laki dan  perempuan, Asas tata guna tanah, Asas tanah untuk pertanian. 

Dengan menerapkan prinsip Agraria dalam pengelolaan pertanahan, diharapkan bahwa  penggunaan pemanfaatan tanah dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, sehingga  memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan lingkungan. Hal ini juga dapat  berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif secara sosial, serta  membantu memastikan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk generasi  yang akan datang. 

3.2 Saran 

Dengan berbagai macam dampak dari implementasi Prinsip hukum agraria, kami mencoba  memberi saran agar dampak yang negatif dapat mengarah ke arah yang lebih positif sehingga  diperlukan adanya perubahan dan perbaikan sehingga tidak menimbulkan baik permasalahan  ketidakadilan bagi WNI ataupun pertentangan dengan hukum atau asas-asas yang berada dalam  UUPA dan juga menghapus inkonsistensi mengenai pemberian jangka waktu hak pakai yang  terjadi diantara WNA dan WNI. 

DAFTAR PUSTAKA 

Arba, H.M. and SH, M., 2022. Hukum tata ruang dan tata guna tanah: prinsip-prinsip hukum  perencanaan penataan ruang dan penatagunaan tanah. Sinar Grafika. 

Gallantry, T., Hidayat, Y. and Wasitaatmadja, F.F., 2021. Penerapan Prinsip Keadilan Dalam  Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Tanah Nasional dan  Hukum Islam. Jurnal Magister Ilmu Hukum, 6(1), pp.62-78. 

Santoso, U., 2012. Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam Hukum Tanah Nasional. Mimbar  Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 24(2), pp.275-288. 

Harsono, B., 2015. Hukum Agraria Indonesia. Buku Dosen-2014. 

Shebubakar, A.N. and Raniah, M.R., 2021. Hukum Tanah Adat/Ulayat. Jurnal Magister Ilmu  Hukum, 4(1), pp.14-22. 

Sihombing, I.E., 2021. Segi-segi hukum tanah nasional dalam pengadaan tanah untuk  pembangunan. BUKU DOSEN-2017.


Terbit

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan