PEMBELA YANG MEMBABI BUTA

PEMBELA YANG MEMBABI BUTA

Sebagai seorang Pembela Umum, atau lebih dikenal sebagai pengacara publik, 100% perkara yang gue tangani adalah perkara masyarakat miskin dan teraniaya. Meskipun kategori miskin dan teraniaya ini banyak defenisi yang diberikan oleh rekan-rekan seprofesi. Ada yang mengkategorikan miskin tak hanya terbatas pada tidak memiliki materi berupa harta dan uang. Miskin bisa juga mengandung arti tidak memiliki akses pada fasilitas umum, atau memiliki keterbatasan terhadap satu hal, sebagai akibat dari kesenjangan regulasi yang tidak adil.

Namun kantor gue sendiri, lebih menitikberatkan pada mereka yang miskin dalam artian umum, yaitu mereka yang tidak memiliki harta benda. Sebagai pembuktian terhadap “kemiskinan” mereka, dapat dilihat dari standar pendapatan mereka setiap bulannya.

Sebelum gue, melanjutkan tulisan ini. Gue sudah bisa membayangkan mungkin ada banyak komentar yang tidak setuju dengan apa yang akan gue tuliskan dalam postingan ini. Namun gue tidak akan melarang mereka apabila suatu saat nanti menuduh saya seorang antek liberal atau mungkin komunis. Mudah-mudahan saja mereka tidak memberikan streotype keduanya secara bersama, karena jelas liberal dan komunis adalah dua sisi yang saling bertentangan.

Gue juga gak berani mengatakan bahwa gue adalah golongan humanis, namun pada dasarnya gue selalu memandang segala sesuatunya dari sisi humanis atau kemanusiaan. Jika para penganut humanis menganggap gue tidak masuk dalam golongan itu, baik lah biarkan gue menulis dengan suka-suka.

Tulisan ini mencoba memberikan opini gue terkait beberapa kasus penggusuran yang terjadi di Jakarta. Mulai dari Waduk Pluit, Menteng Pulo sampai dengan Luar Batang. Gue turut prihatin dengan semua kasus penggusuran yang terjadi di Jakarta akhir-akhir ini. Menurut gue terlalu banyak pahlawan kesiangan yang mencoba mencari panggung dari setiap kasus yang terjadi. Belum lagi ada orang-orang yang dengan niat baik namun terlalu membabi buta dalam menyikapi permasalahan ini.

Gue tak akan mengomentari namboru Ratna Sarumpaet, atau Prof. Yusril yang terhormat. Menurut gue, dalam setiap penggusuran yang dilakukan, pasti masyarakat miskin yang berada dilokasi penggusuran yang menjadi korban. Namun belajar dari kasus penggusuran Waduk Pluit, Kampung Pulo, Kali Jodo dan Luar Batang, benarkan mereka menjadi korban?

Jika melihat secara kasat mata, tentu mereka rugi. Kehilangan tempat tinggal yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun, kehilangan kenangan akan tempat tersebut dan juga berpisah dengan tetangga-tetangga mereka. Sehingga tak salah pula jika ada orang-orang yang dengan baik hati mencoba untuk mengadvokasi mereka.

Namun perlu dipahami lagi, dari kasus penggusuran di empat lokasi terakhir ini, menurut gue berbeda dengan penggusuran yang pernah dilakukan oleh pemerintah bertahun-tahun lalu. Gue tidak sepakat menyebut mereka sebagai korban. Karena pada kenyataannya, orang-orang yang kena gusur adalah mereka yang memang menempati lahan yang bukan haknya, terlepas itu tanah negara atau tanah siapa pun, dan yang terpenting adalah pemerintah menyediakan tempat yang layak untuk merelokasi mereka dengan sejumlah fasilitas pendukung.

Memang ada yang beranalogi seperti ini, sebelum digusur, masyarakat hanya membayar air dan listrik yang mungkin tidak lebih dari 150 ribu rupiah sebulan, namun setelah digusur mereka ditempatkan di Rusun dengan uang sewa sekitar 300 ribu perbulan. Jelas itu adalah kerugian mereka. Jika logika berfikir kita demikian, jelas itu adalah cara berfikir yang terlalu dangkal menurut gue.

Karena yang pertama, mereka diberikan tempat yang layak, bukan tempat kumuh seperti yang sebelumnya. Kedua, mereka mendapatkan fasilitas yang mungkin sebelumnya mereka tidak miliki. Ketiga, mereka tak lagi sebagai penghuni liar yang menempati tanah yang bukan haknya. Tentu pemerintah belum sempurna dalam menjalankan kebijakan ini, namun bukan kah apa yang telah dilakukan pemerintah adalah suatu bentuk untuk memanusiakan mereka?

Seperti kata Latuharhary, “Sitou Timou Tumou Tou – Manusia Hidup Untuk Memanusiakan Manusia Lain”. Pemerintah sebagai pengayom masyarakat sudah saat nya berbuat sesuai dengan sumpahnya.

Menjadi keprihatinan kita memang, bahwa masih banyak orang yang mencoba membela mereka dengan alasan karena mereka orang miskin yang hanya korban dari kebijakan pemerintah yang tidak pro pada wong cilik. Bukan kah kita lebih salah lagi jika kita membiarkan mereka nyaman dengan kemiskinannya sehingga tidak ada pergerakan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Jangan membiarkan mereka menjadikan kemiskinan sebagai tameng untuk selalu mendapatkan belas kasihan yang pada akhirnya akan menjerumuskan mereka sendiri.

Adalah tanggungjawab kita membela perkara orang miskin, namun dalam kitab suci juga ditegaskan bahwa jangan membela perkara seseorang karena dia miskin. Namun kita harus membela suatu perkara karena kebenaran yang harus kita tuju.

Dalam setiap pekerjaan gue, pesan ini yang selalu gue pegang. Gue menangani kasus orang miskin namun gue tak pernah melakukan pembelaan yang membabi buta, semua gue lakukan sesuai dengan porsinya dan hukumnya. Walaupun kitab suci mengatakan, “Berbahagia lah mereka yang miskin, karena mereka lah yang empunya kerajaan Sorga.” Namun menurut gue, ungkapan itu berlaku bagi orang miskin yang hidup benar di dalam masyarakat dan di mata Tuhan.

Kembali gue tegaskan, dalam tulisan ini, gue selalu menyebut pemerintah, bukan Jokowi atau Ahok. Meskipun yang melakukannya adalah Jokowi atau Ahok namun mereka adalah pemerintah. Dan gue memberikan apresiasi terhadap kepeminpinan kedua orang ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Sekian tentang PEMBELA YANG MEMBABI BUTA.

Terima kasih.

Thestresslawyer.com


Terbit

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan